Lembaga Peradilan
Oleh : Wardatul AKmam, X.1
I . MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Kewajiban dan wewenang :
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
- Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
- Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
Ketua Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Ketuanya pada saat ini adalah Bagir Manan.
Hakim Agung
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
A. PERADILAN UMUM
Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian:
a. Proses mengadili.
b. Upaya untuk mencari keadilan.
c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan.
d. Berdasar hukum yang berlaku.
Pembaharuan Lembaga Peradilan
Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruakdalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah :
a. Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
c. Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
d. Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
II. MAHKAMAH KONSTITUSI
MAHKAMAH Konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya diatur dalam pasal 24 ayat 2 yang menyatakan ''kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi".
Oleh karena itu, dalam membicarakan kedudukan dan peranan MK dalam sitem ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu meninjau sistem ketatanegaraan yang berlaku sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 itu.
Perubahan fundamental yang terjadi setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah berubahnya struktur dan mekanisme kerja lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni sistem yang bercorak vertical-hierakis menjadi horizontal-hierakis. Dalam sistem lama, yakni sistem yang bercorak vertical hierakis itu, lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia disusun secara vertikal dan bertingkat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berada di struktur dan kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
Di bawahnya terdapat sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara karena (MPR) dikonstruksikan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR secara hipotetik dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat adalah keanggotaan MPR itu terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, maka kepadanya diberi kekuasaan yang hampir tak terbatas yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Selanjutnya oleh karena MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat berarti seluruh kekuasaan dalam negara terpusat di MPR. Dengan kata lain, MPR-lah sumber dari seluruh kekuasaan yang ada di dalam negara. Dari sini kekuasaan itu dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara tadi, yakni Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK.
Inilah alasan sistem ketatanegaraan Indonesisa sebelum dilakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945 juga disebut sebagai sistem ketatanegaraan dengan supremasi MPR atau sistem pembagian kekuasaan (division of power). Dengan kekuasaan yang besar itu dalam praktiknya, MPR bisa berada di atas Undang-Undang Dasar atau bahkan MPR sama dengan negara itu sendiri.
Atribut Kedaulatan Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, keadaan itu berubah sama sekali. Tidak ada kualifikasi lembaga-lembaga negara ke dalam lembaga tertiggi dan tinggi negara. Semua lembaga negara kedudukannya sederajat. Lembaga-lembaga negara itu sesuai dengan fungsi-fungsinya. Memperoleh kedudukan dan kekuasaannya dari atau berdasarkan UUD dan pada saat yang sama dibatasi oleh UUD.
Dalam hal ini UUD 1945 yang telah mengalami perubahan atau amandemen itu. Kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Atribut kedaulatan itu disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada.
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang oleh UUD 1945 (yang telah diamandemen) diberi pengertian kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Makna kata-kata ''menegakkan hukum dan keadilan'' tersebut adalah berkait erat dengan paham negara hukum (rule of law).
Paham inilah yang dianut di Indonesia. Secara tegas oleh UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan ''Indonesia adalah negara hukum''. Sejauh ini diketahui ada tiga prinsip dasar yang berlaku dalam tiap negara hukum, yakni supremacy of law (supremasi hukum), equality before law (persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum), due process of law (penegakan hukum yang tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum dengan melanggar hak-hak asasi manusia). Dari ketiga prinsip inilah kemudian diturunkan ciri-ciri yang secara umum digunakan sebagai indikator bahwa suatu negara menganut paham negara hukum, yakni adanya legalitas dalam arti hukum bahwa tindakan negara maupun warga negara harus didasarkan atas dan melalui hukum.
Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, dalam arti bahwa kekuasaan negara itu tidak terpusat di satu tangan. Adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan adanya jaminan atau peradilan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu, ciri ini harus ada dalam konstitusi atau undang-undag suatu negara yang menganut paham negara hukum. Oleh karena konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang meladasi keseluruhan sistem hukum yang berlaku di suatu negara yang menganut paham negara hukum, maka "menegakkan hukum dan keadilan" adalah berarti menegakkan ketiga prinsip itu dalam kehidupan bernegara.
Hal itu baru bisa dicapai, terutama apabila seluruh ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara benar-benar mengacu dan tidak bertentangan dengan konstitusi atau UUD yang berlaku di negara itu. Ini sesungguhnya yang menjadi tugas utama Mahkamah Konstitusi yakni menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. Oleh karena itu, betapapun beragamnya kekuasaan untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum ini telah menjadi ciri umum yang berlaku di setiap negara yang memiliki MK dalam sistem ketatanegaraannya, terlepas dari soal apakah lembaga itu secara tegas disebut MK atau diberi sebutan lainnya.
UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk melakukan pengujian secara material undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang sengketa pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden. (Pasal 24 C ayat 1 dan 2).
Kalau diperhatikan secara seksama, keseluruhan kewenangan yang dimiliki oleh MK itu, dalam arti luas sesungguhnya bisa dikembalikan kepada upaya menjaga tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Hubungan MK dan MA Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah hubungan MK dan MA. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Ketentuan ini secara implisit menunjukkan maksud pembentuk UUD untuk memberikan peran kepada MA sebagai penegak hukum dan keadilan tertinggi untuk persoalan yang lebih merupakan persoalan hukum sehari-hari.
Sementara kewenangan MK adalah lebih ditujukan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berkaitan dengan UUD. Namun, pada analisis terakhir, keduanya adalah sama-sama bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam paham negara hukum. Uraian di atas menunjukkan pengertian bahwa ada perbedaan yang mendasar antara ruang lingkup yang terkandung dalam pengertian kekuasaan kehakiman sebelum dan sesudah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sebelum amandemen, tampak bahwa pengertian kekuasaan kehakiman diartikan terbatas pada upaya menegakkan hukum dan keadilan atas masalah-masalah yang tercakup dalam empat lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan militer, agama, dan peradilan tata usaha negara).
Sementara setelah amandemen, pengertian menegakkan hukum dan keadilan menjadi lebih luas. Bukan hanya meliputi soal-soal yang termasuk dalam "wilayah" empat lingkungan peradilan tadi, melainkan upaya untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Bersamaan dengan itu, UUD 1945 juga membagi kewenangan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman itu.
Terhadap persoalan-persoalan yang berada dalam ruang lingkup lingkungan peradilan umum, militer, agama dan tata usaha negara, wewenangnya diberikan kepada MA dan pengadilan-pengadilan yang ada di bawahnya. Sedangkan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berhubungan dengan UUD kewenangannya diberikan kepada MK.
Perbedaan lainnya, sebagaimana tampak dalam uraian di awal tulisan ini, adalah kerangka teoretisnya. Sebelum amandemen, kedudukan kekuasaan kehakiman adalah diturunkan dari atau sebagai bagian dari pendistribusian kekuasaan yang diberikan oleh MPR (yang dengan demikian sesungguhnya berarti bertentangan dengan penjelasan UUD 1945 tetapi sekaligus juga bertentangan dengan hakikat kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara yang menganut paham negara hukum yang menghendaki kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka).
Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman benar-benar diberi kualitas sebagai kekuasaan yang merdeka dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan kewenangan itu langsung diperoleh dari UUD, bukan dari lembaga lain yang dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi.
Peranan MK sebagai institusi yang menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum juga dapat dilihat dalam konteks sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Diketahui empat ciri yang lazim ditemukan dalam sistem ini, yakni adanya masa jabatan presiden yang bersifat pasti (fixed executive system atau fixed term). Kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan, adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances), serta adanya mekanisme impeachment.
Sebagaimana dimaklumi, dalam sistem presidensial, impeachment dikatakan sebagai exceptional clause terhadap syarat fixed term. Maksudnya, pada dasarnya dalam sistem ini seorang presiden tidak dapat diberhentikan di tengah jalan atau sebelum masa jabatannya habis, sebab ia dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai dengan prinsip supremacy of law dan eguality before law, ia tetap bisa diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD.
Tetapi proses pemberhentian itu sendiri juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya eguality before the law dan due process of law. Artinya, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, ia tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
III. KOMISI YUDISIAL
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung.
Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
Tujuan Komisi Yudisial
1. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
3. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen.
4. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.
Wewenang Komisi Yudisial
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial
* Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung, dengan tugas utama:
1. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
* Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim, dengan tugas utama:
1. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
2. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
3. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Pertanggungjawaban dan Laporan
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
[sunting] Anggota
Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat Negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota). Anggota Komisi Yudisial meemgang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Saat ini Komisi Yudisial terdiri atas tujuh anggota, yang saat ini terdiri atas:
* M. Busyro Muqoddas (Ketua)
* Thahir Saimima
* Irawady Joenoes
* Soekotjo Soeparto
* Chatamarrasjid
* Zainal Arifin
* Mustafa Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar