Senin, 22 November 2010

Pembelajaran Etika Berlalulintas

Oleh : KI SUGENG SUBAGYA

Kementerian Pendidikan Nasional bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia segera
merealisasikan pendidikan berlalulintas dalam pendidikan nasional. Nota kesepahaman tentang
hal itu telah ditandatangani Mendiknas dengan Kapolri di Jakarta beberapa waktu lalu.

PERILAKU berlalulintas masyarakat
kita buruk. Cara menggunakan jalan
dalam berlalulintas adalah cermin
dari budaya bangsa. Kesantunan
dalam berlalu lintas yang dilakukan adalah
potret kepribadian diri yang sekaligus
menggambarkan budaya bangsa. Kalau
buruk cara kita berlalulintas maka buruklah
kepribadian kita dan secara kolektif
keburukan ini menggambarkan buruknya
budaya bangsa.

Salah satu indikator buruknya perilaku
berlalulintas adalah tingginya pelanggaran
terhadap norma-norma berlalulintas yang
ditunjukkan oleh perilaku berlalu lintas
yang tidak aman dan mengabaikan sopan
santun menggunakan jalan raya. Sebagai
akibat lanjutannya, angka korban kecelakaan
lalulintas dari tahun ketahun meningkat
seiring dengan tingginya angka kecelakaan
lalu lintas itu sendiri.

Menurut Kapolri, pada tahun 2007
terdapat 20.000 orang korban kecelakaan
lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188
orang pada tahun 2008. Tahun 2009, lebih
tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000
orang. Lima persen dari jumlah korban
kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan
mahasiswa.

Untuk itu pendidikan berlalulintas perlu
diberikan kepada para pelajar, terutama
tentang etika berlalulintas. Hal ini tidak
semata untuk mengurangi angka korban
kecelakaan semata, tetapi yang lebih
penting adalah membangun karakter peserta didik

Strategi Pembelajaran

Di negara yang menganut azas tertib
berbangsa dan bernegara, cara berlalulintas
yang baik dan benar diajarkan di sekolah
sejak dini. Pendidikan berlalu lintas adalah
proses untuk melatih diri menghargai hakhak
orang lain, dan etika pergaulan
memanfaatkan fasilitas publik yang baik.
Kalau sejak kecil sudah tidak menghargai
hak-hak orang lain, dan tidak berpegang
pada etika dalam memperlakukan orang
lain, maka bukan tidak mungkin akan
menimbulkan perilaku yang biasa
mengambil hak-hak orang lain atau korup
kelak kemudian hari.

Meskipun anak-anak usia dini belum
tahu bahaya di jalan raya. Tetapi paling
tidak, ia faham betapa sakitnya terjatuh di
jalan. Lebih dari itu, menanamkan tingkah
laku tertib di jalan, sekaligus menanamkan
nilai tenggang rasa. Tidak hanya demi
keselamatan pribadi tetapi juga orang lain.
Memberi pengetahuan tentang etika
berlalu lintas sudah baik, tetapi belum cukup
untuk membenahi perilaku buruk berlalu
lintas. Oleh karena itu wujud pendidikan
etika berlalu lintas harus diperjelas.
Implementasinya bukan hanya pada ranah
kognitif saja, melainkan harus berdampak
positif terhadap ranah afektif dan
psikomotorik yang berupa sikap dan perilaku
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Ada baiknya, pembelajaran etika
berlalulintas dirujukkan kepada hakikat
belajar. Menurut Ki Hadjar Dewantara,
hakikat belajar sebagai proses adalah niteni,
nirokke, dan nambahi. Sedangkan hakikat
belajar sebagai hasil adalah ngerti, ngrasa,
dan nglakoni. Untuk itu diperlukan figur
teladan yang tidak hanya dapat memberi
contoh, tetapi lebih dari itu harus dapat
menjadi contoh. Menjadi contoh menuntut
konsekuensi yang lebih berat daripada
sekadar memberi contoh. Oleh karena itu,
peran orangtua, guru, pemimpin formal dan
nonformal dituntut menjadi teladan dalam
perilaku berlalulintas.

Sesungguhnya, pembelajaran etika
berlalulintas adalah bagian dari pendidikan
watak. Pendidikan watak, kerangka
besarnya adalah membangun karakter.
Dengan demikian pembelajaran etika
berlalulintas harus berbasis pendidikan
karakter.

Di antara banyak pendekatan pendidikan
berbasis karakter, setidaknya dapat dipilih
dua macam strategi
pembelajaran.
Pertama,
pengintegrasian dalam
kegiatan sehari-hari, yang
dilakukan melalui keteladanan,
kegiatan spontan,
pengondisian lingkungan, dan
kegiatan rutin. Dengan
demikian materi
pembelajarannya tidak harus
diintegralkan dalam
matapelajaran dan dituang
dalam matapelajaran
tersendiri. Nilai-nilai etika
berlalulintas ditanamkan
menyatu dengan aktifitas
peserta didik sehari-hari.
Kedua,
pengintegrasian dalam kegiatan
yang diprogramkan. Hal ini dilakukan oleh
guru manakala guru menganggap perlu
memberikan pengetahuan prinsip-prinsip
etika berlalu lintas. Dalam hal ini meteri
pelajaran dapat disisipkan pada berbagai
matapelajaran yang sudah ada.
Keduanya terdapat kelebihan dan
kelemahannya. Salah satu kelemahan jika
diintegrasikan pada matapelajaran yang
sudah ada yang sudah sangat sarat muatan,
bukan tidak mungkin pembelajaran etika
berlalulintas akan menambah beban belajar
peserta didik dan kesulitan guru dalam
mengimplementasi
pembelajaran. Jika hal itu
yang terjadi, bukan hanya
pembelajaran etika
berlalulintasnya yang gagal,
tetapi proses pembelajaran
justeru tidak efekif karena
tidak fokus.

Perlu direnungkan, sebagai
bagian dari upaya
membangun karakter,
pendidikan berlalulintas
seharusnya tidak hanya
transfer of knowledge, tetapi
lebih dari itu harus
didominasi oleh transfer of
values. Oleh karena itu
pendidikan berlalulintas
ditekankan dalam upaya
membangun karakter dan
budaya berlalulintas.

*) Penulis adalah Wakil
Ketua Majelis Ibu Pawiyatan
Tamansiswa Yogyakarta dan
Konsultan Pendidikan/HNUR

Gemari Tahun XI/Mei 2010 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar